Senin, 01 Juni 2009

TARIAN BARONGSAI

<----------------------(Barongsai Utara)


(Barongsai selatan)--------------------->


Tarian Singa atau di Indonesia dikenal dengan nama barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum masehi.

Menurut kepercayaan orang Cina, singa merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tarian Singa dipercaya merupakan pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan sehingga umumnya diadakan pada berbagai acara penting seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan tentu saja perayaan tahun baru.

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.

Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.

Di depan penari Barong biasanya juga terdapat seorang penari lain yang mengenakan topeng dan membawa kipas. Tokoh ini disebut Sang Buddha. Tugasnya adalah untuk menggiring sang Singa Barong ke tempat di mana amplop berisi uang disimpan.

BARONGSAI DI INDONESIA

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.

Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta.

Karena dahulu barongsai dimusnahkan, maka sekarang harus dibuat yang baru. Kalau dulu kepala singa dibuat dari rangka bambu, kepala singa sekarang ada yang dibuat dari fiberglass. Warna barongsai dibuat lebih semarak dan lampu listrik yang berkerlap-kerlip dipakai sebagai hiasan.

Bebek HT

Jl. Karang Empat Besar, Bebeknya Oke !!! Empuk banget, kayak dipresto. Kalo datang kesitu jam 7 malam keatas, kemungkinan bagian tubuh si bebek udah nggak lengkap lagi. Maksudnya, kalo kamu suka dada or paha or jerohan, mendingan dateng agak sorean.

Cing Bing



Konon, hari raya Cing Bing atau Qing Ming (清 明節, baca: ching ming = cerah dan cemerlang) pada awalnya adalah ritual “pembersihan makam” oleh para kaisar, raja dan petinggi negara lainnya pada zaman dahulu kala, kemudian ditiru oleh rakyat kebanyakan dengan memberi persembahan kepada leluhur dan membersihkan/merawat makam pada hari yang sama, diteruskan turun temurun sehingga menjadi semacam adat istiadat yang baku bagi suku bangsa Tionghoa.

Menurut hasil survei pada hari Cing Bing yang jatuh pada 5 April setiap tahun, peziarah di Tiongkok kali ini diduga melebihi 120 juta orang.

Bagi orang Tionghoa yang memiliki tradisi setia, berbakti, murah hati dan keakraban, hari raya Cing Bing adalah merawat, membersihkan makam untuk mengenang para leluhur.

Sedangkan bagi etnis Tionghoa yang berada di luar Tiongkok, setiap pada hari tersebut, kerinduan terhadap kampung halaman akan terasa lebih kental, jadilah perayaan Cing Bing sebagai tradisi orang Tionghoa untuk menelusuri dan mengenang suasana “kebudayaan leluhur”, di dalam kehangatan keluarga dan kerabat, menunaikan pengembalian identitas asal dan meneruskan akar nadi.

Dalam masyarakat Tiongkok, diantara perayaan-perayaan tradisional yang ada, hari raya Cing Bing merupakan salah satu dari “8 perayaan” penting (antara lain: Imlek, Pek Cun yang terkenal dengan kue bakcang, Tiongjiu yang terkenal dengan kue Tiong Jiu Pia, dan lain-lain). Pada umumnya ditentukan pada 5 April tahun masehi, tetapi masa perayaannya cukup panjang, terdapat 2 macam ketentuan yakni 10 hari sebelum dan 8 hari sesudah atau 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah, jumlah hari yang hampir 20 hari lamanya tersebut termasuk hari Cing Bing.

Asal mula

Hari Cing Bing bermuasal dari zaman Chun Qiu Zhan Guo (Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11–3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 Jie Qi (sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.

Sesudah hari Cing Bing, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup “melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru”, tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari Yin (unsur negatif) ke Yang (unsur positif).

Konon, sesudah Yu agung (大禹, raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata Qing Ming (di Indonesia terkenal dengan Cing Bing) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.

Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).

Saat Ta Qing, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.

Hari raya Cing Bing adalah musim berziarah ke makam, sebetulnya membersihkan makam adalah makna dari hari festival makanan dingin (寒食節) yakni 1 hari sebelum Cing Bing.

Kaisar Tang Xuanzong memerintahkan seluruh negeri agar “berziarah pada hari festival makanan dingin”. Berhubung festival makanan dingin berdempetan dengan Cing Bing maka lambat laun digabung dan terwariskan menjadi pembersihan makam pada Hari Cing Bing saja.

Pada zaman dinasti Ming (1368-1644) dan Qing/Mancu (1616-1911) Cing Bing berziarah ke makam semakin populer. Berziarah ke makam pada zaman dahulu, anak-anak seringkali bermain layang-layang. Ada yang memasangi seruling bambu pada badan layang-layang, yang berbunyi tatkala angin (Feng, 風) berhembus melaluinya, bagaikan bunyi alat musik zaman kuno yang disebut Zheng (箏), konon demikianlah asal usul nama layang-layang, dalam bahasa mandarin ialah: Feng Zheng (風箏, harfiah: Zheng yang dibunyikan oleh angin)

Adat dan istiadat

Adat istiadat hari raya Cing Bing sangat kaya dan menyenangkan, selain menganjurkan pati geni (tidak memasak/ menyalakan api), berziarah, juga ada serangkaian kegiatan seperti berkelana, berayun, sepak bola, menancapkan ranting pohon Willow dan lain-lain.

Konon ini dikarenakan pada hari Cing Bing tidak boleh memasak dan harus mengonsumi makanan dingin, maka untuk mencegah timbulnya dampak pada kesehatan, semua orang mengikuti sejumlah kegiatan di luar ruangan agar tetap fit. Oleh karena itu, di dalam acara tersebut selain bersembahyang di makam baru, dengan suasana haru dan penuh duka, pada kegiatan menginjak rumput/ berkelana juga terdapat suara tertawa riang, ini adalah sebuah acara yang penuh keunikan.

Bermain ayunan Qiu Qian (鞦韆): ini adalah adat kebiasaan hari Cing Bing zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali. Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.

Cu Ju (蹴鞠, sepak bola kuno): Ju adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. Cu Ju menggunakan kaki untuk menyepak bola. Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat Cing Bing pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh Huang Di (kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.

Menanam pohon: sebelum dan sesudah Cing Bing, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala Cing Bing. Ada orang menyebut hari Cing Bing sebagai “hari raya penanaman pohon”. Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.

Bermain Layang-layang: juga merupakan kegiatan yang populer di saat musim Cing Bing. Setiap musim Cing Bing, selain pagi hari, orang-orangpun bermain layang pada malam hari. Pada kegelapan malam, di bawah layang-layang atau pada posisi benang-tarik digantungi serentetan lampion kecil, seperti selebritis yang cemerlang, disebut “Lampu dewata”.

Dahulu, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.

Merawat atau membersihkan makam: Merawat makam di hari Cing Bing, dikatakan sebagai suatu tindakan untuk menghormat dan mengenang para leluhur. Kebiasaan membersihkan makam sudah ada sebelum dinasti Qin (221-206 SM), tetapi tidak harus dilangsungkan pada hari Cing Bing, berziarah membersihkan makam saat Cing Bing adalah masalah setelah Dinasti Qin. Dan sesampainya Dinasti Tang kebiasaan baru mulai menjadi populer.

Menancapkan pohon Willow: konon, kebiasaan menancapkan dahan willow (pohon Yangliu), juga demi memperingati Shen Nong Shi, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan willow di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno “Kalau dahan willow hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan willow kering, cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.

Etnis Tionghoa rayakan Cing Bing

Semakin jauh dari tanah leluhur, perasaan sentimental dan nostalgia sepertinya semakin mendalam saja, di pelosok dunia dimana ditemukan orang etnik Tionghoa, setiap Cing Bing tahunan, pasti mereka mengikuti adat istiadat, menerawang negeri leluhur dari lokasi kejauhan dan mengirimkan kerinduan dari jauh melalui perayaan. Hari Cing Bing menjadi salah satu hari perayaan paling ramai dari tiga hari raya besar (tahun baru imlek, Cing Bing dan hari Tiongjiu) di wilayah pecinan.

Etnis Tionghoa di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan penduduk etnis Tionghoa terbanyak di dunia, terdapat sekitar 15 juta orang yang hidup di sini yang selalu meneruskan adat pembersihan makam dan bersembahyang kepada leluhur pada hari Cing Bing.

Di dalam nilai kehidupan masyarakat Tionghoa, berbakti (Xiao, 孝), ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan pembersihan makam dan sembahyang leluhur juga adalah semacam perwujudan jalan Xiao (berbakti kepada orang tua atau leluhur).

Tatkala pada 1999 Indonesia memasuki era reformasi demokrasi, pemerintah telah menghapus larangan yang bersifat diskriminatif dan membatasi etnis Tionghoa merayakan hari kebudayaan tradisional, maka orang Tionghoa di seluruh pelosok menggunakan berbagai cara untuk melewati hari raya Imlek, Yuan Xiao (15 hari sesudah tahun baru Imlek, yang biasanya dimeriahkan dengan hidangan lontong cap go meh) dan Cing Bing, pada generasi yang lebih tua mereka akan lebih mengutamakan Cing Bing.

Sebelumnya, etnis Tionghoa kebanyakan menyembah arwah leluhur di altar rumah, belakangan ini setiap nama marga memiliki kantor perkumpulan sendiri, maka para kerabat setelah berkumpul dan melakukan persembahan kepada leluhur lantas makan siang bersama, untuk mengakrabkan hubungan satu sama lain.

Ada pula yang menggunakan peluang ini untuk memberi bea siswa kepada kerabat muda yang berprestasi bagus, hal ini mewujudkan tradisi prima kaum etnis Tionghoa yang menghargai jasa para leluhur dan mau memberi semangat generasi muda agar giat belajar.

Pada masa Cing Bing, di beberapa tempat diadakan reuni sekolah dan kegiatan lainnya, dengan tujuan untuk memperdalam persahabatan. Lebih banyak lagi etnis Tionghoa yang berziarah secara sekeluarga ke makam leluhur, atau ke kuil menyulut dupa dan memohon rezeki.

Beberapa tahun belakangan ini, dalam situasi orang Tionghoa boleh menikmati dengan bebas perayaan kebudayaan dan “demam belajar bahasa Mandarin”, generasi baru orang Tionghoa di Indonesia mulai menghargai kebudayaan Tionghoa.

Minggu, 31 Mei 2009

Tulisan di atas pasir

Di pesisir sebuah pantai, tampak dua anak sedang berlari-larian, bercanda dan bermain dengan riang gembira. Tiba-tiba, terdengar pertengkaran sengit di antara mereka, salah seorang anak yang bertubuh lebih besar memukul temannya sehingga wajahnya menjadi biru lebam. Anak yang dipukul seketika diam terpaku. Lalu, dengan mata berkaca-kaca dan raut muka marah menahan sakit, tanpa berbicara sepatah katapun, dia menulis dengan sebatang tongkat di atas pasir: "Hari ini temanku telah memukul aku !!!"

Teman yang lebih besar merasa tidak enak, tersipu malu tetapi tidak pula berkata apa-apa. Setelah berdiam-diaman beberapa saat, ya ..dasar-anak- anak, mereka segera kembali bermain bersama. Saat lari berkejaran, karena tidak berhati-hati, Tiba-tiba, anak yang dipukul tadi terjerumus ke dalam lobang perangkap yang dipakai menangkap binatang "Aduh.... Tolong....Tolong! " ia berteriak kaget minta tolong. Temannya segera menengok ke dalam lobang dan berseru "Teman, apakah engkau terluka? Jangan takut, tunggu sebentar, aku akan segera mencari tali untuk menolongmu". Bergegas anak itu berlari mencari tali. Saat dia kembali, dia berteriak lagi menenangkan sambil mengikatkan tali ke sebatang pohon "Teman, Aku sudah datang! Talinya akan kuikat ke pohon, sisanya akan ku lemparkan ke kamu, tangkap dan ikatkan dipinggangmu, pegang erat-erat, aku akan menarikmu keluar dari lubang".

Dengan susah payah, akhirnya teman kecil itupun berhasil dikeluarkan dari lubang dengan selamat. Sekali lagi, dengan mata berkaca-kaca, dia berkata, "Terima kasih, sobat!". Kemudian, dia bergegas berlari mencari sebuah batu karang dan berusaha menulis di atas batu itu "Hari ini, temanku telah menyelamatkan aku".

Temannya yang diam-diam mengikuti dari belakang bertanya keheranan, "Mengapa setelah aku memukulmu, kamu menulis di atas pasir dan setelah aku menyelamatkanmu, kamu menulis di atas batu?" Anak yang di pukul itu menjawab sabar, "Setelah kamu memukul, aku menulis di atas pasir karena kemarahan dan kebencianku terhadap perbuatan buruk yang kamu perbuat, ingin segera aku hapus, seperti tulisan di atas pasir yang akan segera terhapus bersama tiupan angin dan sapuan ombak.

Tapi ketika kamu menyelamatkan aku, aku menulis di atas batu, karena perbuatan baikmu itu pantas dikenang dan akan terpatri selamanya di dalam hatiku, sekali lagi, terima kasih sobat".


(original writer: Andrie Wongso)